Bersedekah, berbuat baik , membuat efek menular.
Sesungguhnya segala hal yang Allah
Subhanahu Wata’ala syariatkan adalah baik bagi diri, orang lain dan tentu saja kehidupan semesta, tidak terkecuali perintah sedekah.
Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan umat-Nya untuk bersedekah, baik dalam rangka jihad
fi sabilillah,
membantu sesama atau pun memuliakan anak-anak yatim. Akan tetapi,
sebagaimana fitrah manusia itu sendiri, kecintaan terhadap harta dan
kemewahan seringkali membuat sebagian orang tidak mampu melihat dan
merasakan kedahsyatan dari amalan yang sangat dianjurkan ini.
Dan, di sini muncul pertanyaan, bagaimana sistem penjelas yang bisa
dipahami ketika seorang Abu Bakar menyedekahkan seluruh yang
dimilikinya, Umar separuh yang dimilikinya dan Utsman bin Affan serta
Abdurrahman bin Auf yang tak pernah pikir panjang dalam hal sedekah.
Satu-satunya jawaban yang populer untuk menjelaskan perilaku sahabat
Nabi yang sangat dermawan itu adalah karena iman. Belum ada sampai saat
ini – setidaknya yang penulis temukan – sistem penjelas yang secara
rasional mencerahkan.
Namun demikian, perjalanan waktu mengantarkan sains dan teknologi
menemukan keajaiban-keajaiban dari syariat Allah yang diamalkan oleh
manusia.
Penelitian Membuktikan
Secara fisik berbagi dan bermurah hati terlihat merugikan. Namun fakta
lain justru sebaliknya. Sebelum ini, peneliti sudah menemukan istilah
“warm-glow-effect’, sebuah fenomena ekonomi yang pernah dijelaskan oleh
James Andreoni tahun 1989, dimana menunjukkan orang yang beramal,
berbagi dan bermurah hati justru berdampak positif atas kemurahan hati
mereka atau disebut “warm-glow effect” (efek-cahaya pemberi). Perasaan
positif ini didapatkan atas tindakannya memberi atau membantu orang
lain.
Studi tahun 2006 oleh Jorge Moll dari National Institutes of Health
menemukan bahwa ketika seseorang melakukan donasi kepada suatu yayasan,
beberapa area di otak yang terkait dengan kenyamanan, koneksi sosial,
dan rasa percaya turut aktif dan menciptakan efek “warm glow”. Para
peneliti juga percaya bahwa ketika melakukan tindakan altruistik, otak
akan melepaskan endorfin, memproduksi perasaan positif yang disebut
“helper’s high.”
Fenomena tersebut dapat terjadi karena ketika menolong orang, otak
memproduksi hormon dopamine (yang memberi perasaan bahagia dan keyakinan
bahwa yang kita lakukan adalah hal yang benar) serta hormon oxytocin
yang dikenal dapat mengurangi stres, meningkatkan fungsi imunitas, dan
mengembangkan rasa percaya dalam interaksi antar manusia.
Banyak penelitian menunjukkan sikap dermawan ternyata berkorelasi dengan
kesehatan. Salah satunya adalah penelitian Stephanie Post yang dimuat
dalam bukunya, Why Good Things Happen To Good People, yang menyatakan
bahwa berbagi dengan sesama dapat meningkatkan kesehatan penderita
penyakit kronis seperti HIV.
Bisa dibayangkan, bagaimana kalau alat misalnya digunakan untuk meneliti
anak-anak Muslim Indonesia yang dalam membantu orang lain disertai niat
dan dorongan ingin mendapat ridha Allah, mungkin akan lebih wow lagi.
Karena dalam Islam sedekah bukan semata memberikan kebahagiaan dunia
tetapi juga kebahagiaan akhirat.
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا
وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ
مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adalah baik sekali. Dan
jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir,
maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan
dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 271).
Dengan kata lain, terlepas dari bagaimana dilakukan (sembunyi atau
terang-terangan) sedekah itu memastikan kebahagiaan dunia dan akhirat
sekaligus, bahkan mengundang rahmat Allah berupa ampunan atas
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Dari sini dapat kita
mengerti, mengapa sahabat Nabi begitu antusias dalam sedekah, yakni
karena mereka ingin mendapat ampunan-Nya.
Dan, yang paling memotivasi adalah hadits Nabi yang menjelaskan bahwa
pahala sedekah (jariyah) itu tidak terputus meski yang mengamalkannya
telah tiada.
“Apabila anak Adam itu telah mati, maka terputuslah
amalnya kecuali dari tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat,
dan anak yang sholeh/sholehah yang mendoakan kedua orangtuanya.” (HR.
Muslim).
Terakhir, adalah termasuk orang yang mendustakan agama, yang dalam
hidupnya tidak terbesit apalagi sampai tidak mau membantu mereka yang
membutuhkan dan secara gamblang Allah sebutkan.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin.” (QS. 107: 1-3).
Ibn Katsir menjelaskan bahwa orang yang termasuk mendustakan agama
adalah orang yang tidak mau memberi makan serta tidak juga berbuat baik
kepada anak yatim.
Dengan demikian, tidak heran jika Allah sering mengulang-ulang ayat
tentang sedekah ini dalam beragam bentuknya. Dan, tidak sedikit sejarah
Nabi dan sahabat yang meneladankan betapa hebatnya etos mereka dalam
bersedekah. Wallahu a’lam.